REALITAS GENERASI MILENIAL
OPINI. SEMMI.OR.ID. Generasi milenial adalah kelompok demografi setelah generasi X. Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai “Echo Boomers” karena adanya ‘booming’ (peningkatan besar). Munculnya generasi tersebut dimulai paska ledakan perang dunia kedua. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000 an sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia sekitar 15-34 tahun.
Generasi milenial memiliki gaya hidup yang cukup unik apa bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, karena generasi ini merupakan generasi yang melek akan informasi terupdate.
Gaya kekinian yang dibahasakan oleh generasi tersebut sering menjadi standar penilaian dalam kelompok – kelompok masyarakat. Karakteristiknya berbeda – beda tergantung daerah asal dan sosial-ekonomi daerah itu. Namun, generasi ini ditandai oleh peningkatan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital.
Generasi ini begitu update dengan hal-hal yang baru, mulai dari cara selfi hingga tempat nongkrong terbaru pasti mereka ikuti. Tapi generasi ini tidak begitu melek dengan yang berbau politik serta tidak peduli dengan lingkungan sekitar yang cenderung bersikap apatis. Mereka hanya fokus terhadap nilai-nilai materilialistis dan hal-hal yang mereka senangi serta tidak ingin terikat dengan kata lain ingin bebas dalam melakukan hal apapun. Dampak dari generasi ini cukup signifikan dalam beberapa aspek kehidupan, karena angka populasinya cukup tinggi.
Dilihat dari sudut pandang sosial dan budaya, bagi kita di ranah Minang, generasi ini cukup mengalami degradasi nilai-nilai budaya, misalnya tidak paham dengat apa itu istilah kato nan 4, sehingga etika dalam pergaulan terhadap sesama ataupun yang lebih besar tidak ada bedanya bagi generasi ini. Nilai-nilai yang ada dalam adat kini tidak dipelajari lagi bahkan tidak diketahui lagi oleh generasi ini pada umumnya.
Ditinjau dari perspektif agama dan kehidupan bernegara, tentu masa depan umat dan negara terletak ditangan generasi ini. Jika kita ingin melihat kualitas umat ataupun negara tentu terlihat dari kualitas generasi pelanjutnya. Bila generasi muda mereka baik, maka pastilah masa depan umat dan negara juga akan baik. Namun sebaliknya, jika generasi muda suatu bangsa atau umat itu buruk, maka dapat dipastikan mereka sangat rentan dengan kehancuran dan mudah untuk dipengaruhi oleh pengaruh yang dapat menghancurkan umat dan negara itu sendiri.
Bila kita cermati lebih lanjut dalam perspektif Islam, gerakan-gerakan musuh Islam dalam memerangi Islam adalah dengan menghancurkan generasi mudanya terlebih dahulu. Caranya adalah mereka dengan gencar dalam memperkenalkan budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, sehingga generasi muslim tertarik dan terjerumus ke dalamnya. Bila generas itu rusak, maka untuk menghancurkannya tidak perlu menggunakan perang dengan senjata atau ekspansi menggunakan angkatan perang.
Hal inilah yang perlu untuk disadari, bahwa Indonesia generasi mudanya perlu dibentengi dari pemikiran-pemikiran yang merusak melalui budaya dan tekhnologi yang dilakukan oleh elit global, dan rasanya skenario yang mereka bangun itu hampir berhasil. Asumsi ini dapat dilihat dari semakin menipisnya rasa kepedulian terhadap nilai-nilai nasionalisme yang menurun, hidup lebih cenderung individualistik dengan gaya hidup yang lebih suka instan. Budaya baca yang rendah sehingga daya kritis yang menipis.
Melihat dari fenomena yang tejadi, maka kondisi seperti itu harus ditindak lanjuti. Jika lingkungan tidak bisa menjadi mentor pembimbing dalam menggiring mereka ke arah dimana mereka harus menjadi subjek perubahan, maka hal ini dapat mengakibatkan proses percepatan suatu umat dan bangsa pada kehancuran.
Penulis: Taufiqurrahman (Ketum DPC SEMMI Kota Bukittinggi-Sumatera Barat).